Assalammu’alaikum wr wb
Untuk kesekian kali jawa tengah adalah tujuan kami mencari ilmu baru. provinsi yang banyak memiliki wali penyebar agama islam ini, seakan tak habis jika kami jelajahi tiap jengkalnya. tepatnya bulan juli 2008 yang lalu kami menjejakkan kaki ke provinsi yang terletak tepat di tengah pulau jawa. kesempatan kali ini kami akan bercerita tentang sejarah kota semarang, kota lama, masjid-masjid bersejarah dan masjid termegah hingga meyusuri saksi kehebatan goa kreo yang ditunggui mahluk setia sunan kalijogo.
Detik demi detik berjalan perlahan, tanpa terasa alunan waktu membawa Perjalanan 3 Wanita melewati lembaran baru. Perjalanan lama yang telah usai kini berganti. Namun, maknanya masih terasa di kalbu. Membekas di hati, agar semangat memulai penjelajahan baru.
Perjalanan 3 Wanita memulai kisahnyanya hari ini. Di ibukota Propinsi Jawa Tengah, Semarang, semua yang baru pun dimulai. Kali ini giliran dina, dila dan silvie yang membuka perjalanan tiga wanita selanjutnya. Di salah satu icon semarang (tugu muda) mereka beraksi didepan kamera untuk pertama kalinya. Beberapa kali take dijalani.
Dibawah komando EP (eksekutif Produser) herny Mulyani, camera person sakti pudjo dan rifiansyah mereka masih canggung alias belum terbiasa berbicara di depan kamera. Beberapa kali take dilakukan untuk hasil yang sempurna. Atmosfer yang belum terbentuk antara ketiganya juga menjadi masalah utama. Yang memang itulah yang pertama dan kata-kata itu harus ada ditiap pertama kegiatan yang kita lakukan.
Semarang, kota modern yang kini berkembang pesat. Dulu, wilayah ini merupakan bagian dari kerajaan Mataram Kuno. Alkisah, Pangeran Made Pandan bersama putranya Raden Pandan Arang, diutus oleh Raden Patah untuk meninggalkan Kesultanan Demak menuju ke sebuah tempat yang bernama Pulau Tirang guna penyebaran agama Islam. Sesampainya disana, ia membuka hutan untuk dijadikan pesantren. Tidak hanya itu, ternyata, di daerah yang subur ini, tumbuh pohon asam dengan jarak yang jarang atau lebih dikenal dengan pohon asam arang. Oleh karena itulah hingga kini, asal mula kata asam arang menjadi cikal bakal nama kota Semarang.
Sebagai pendiri desa, Pangeran Made Pandan kemudian menjadi kepala daerah setempat dengan gelar Kyai Ageng Pandan Arang I atau Pandanaran. Namun, sepeninggal beliau, kepemimpinan daerah kemudian dipegang oleh putranya yang bergelar Pandan Arang II. Dibawah pemerintahannya, kota Semarang pun semakin maju dan berkembang.
Adipati meninggalkan rakyatnya pada tahun 1596. Sang Pemilik Ruh telah memanggilnya kembali. Kini hanya kebesarannyalah yang dapat kita kenang. Disebuah kompleks pemakaman yang cukup rindang, jasa Adipati Pandan Arang II bersemayam. Memasukinya, para peziarah akan disambut oleh sebuah gerbang hijau yang dihiasi oleh ayat-ayat Allah. Kemudian didalam sebuah ruangan, terlihat makam sang pemimpin. Nisannya yang ditutupi kain putih, ditemani oleh dua buah makam anggota keluarganya yang lain. Sebagai penghargaan atas jasa-jasanya, kini setiap tanggal 2 Mei yang juga bertepatan dengan waktu pengangkatan beliau dijadikan hari jadi Kota Semarang.
Sebagai bukti kebesaran sang adipati, kini masih berdiri kokoh rumah suci peninggalannya, Masjid Besar Semarang, atau Masjid Kauman. Dulu Masjid ini pernah berdiri di daerah Mugas, kemudian keberadaannya dipindahkan ke Blubaan dan terakhir ke wilayah ini. Di luar masjid, para jamaah akan disambut oleh prasasti yang diukir disebuah gapura. Inskripsi yang diukir dalam empat bahasa ini bertuliskan tahun 1750 sebagai tanggal pendirian masjid dan Gambier, seorang Belanda sebagai arsiteknya.
Kemudian didepan serambi, mata para jamaah pasti akan tertuju pada menara penyeru adzan pengingat kebesaranNya. Selain itu, perpaduan budaya juga terlihat di rumah suci ini. Bentuk atap limasan yang diberi hiasan mustaka pada puncaknya mencerminkan arsitektur Jawa. Sedangkan pintunya yang berbentuk rangkaian daun waru, melambangkan arsitektur Persia.
Memasuki ruangan masjid, kesejukan seolah menyeruak di sanubari. Pada ruang mihrab yang terlihat lancip dengan langit-langit dari beton, terlihat mimbar imam yang terbuat dari kayu yang dilengkapi ornamen ukir yang rumit. Disini, dinding masjid pun turut dihiasi oleh 99 nama Allah, asmaul husna, Subhanallah. Dibalik keagungannya, ternyata tanggal 11 April 1883, rumah suci ini pun pernah menjadi saksi dahsyatnya kekuatan alam.
Dibagian atas masjid yang keseluruhan konstruksinya menggunakan kayu jati ini, ternyata terdapat sebuah ruangan penyimpanan benda bersejarah, pemberian Mantan Adipati Raden Mas Tumenggung Adipati Purboningrat, yaitu tiga buah tombak yang dianggap sebagai pelindung masjid, benda kuno itu bernama, Kyai Puger, Kyai Pleret, dan Kyai Mojo.
Namun, rupanya, kisah sejarah seolah tak pernah berakhir dalam keagungan Rumah Allah ini. Pada saat Bung Karno dan Bung Hatta menyiarkan proklamasi di Jakarta, sejam kemudian disiarkan dan diumumkan di masjid ini
Selain itu, masjid yang terletak di komplek alun-alun nan ramai ini, menyimpan tradisi Dugderan, yakni tradisi membunyikan bedug dan meriam yang dilakukan para bupati, sehari menjelang bulan puasa sebagai pernyataan masuknya bulan Ramadhan.
Menjelajahi Kota Semarang, tak lengkap rasanya bila tak berkunjung ke kawasan kuno. Disini, Dilla, Dina, dan Silvi pun turut melangkahkan kakinya menapaki berbagai bangunan tua bersejarah di Kota Lama.
Outstadt, atau Kota Lama, menjadi pusat perdagangan yang penting sekitar abad ke 18. Dengan luasnya yang mencapai 31 hektar, kawasan ini seolah membentuk suatu kota kecil yang terpisah dari wilayah sekitarnya. 50 bangunan kuno bergaya eropa yang menghiasinya, membuat kawasan ini dijuluki sebagai Little Netherland.
Tampaknya, 3 wanita pun sudah tak sabar untuk segera mengelilingi kota tua ini. Dengan becak yang mereka sewa, penjelajahan pun siap dimulai.
Outstadt, selama dua abad pernah menjadi saksi bisu sejarah bangsa Indonesia dibawah pemerintahan kolonial. Pada masa itu, Belanda sangat memperhitungkan faktor kenyamanan. Untuk mengamankan warga dan wilayahnya, disini pernah dibangun vijhoek, yakni sebuah benteng pertahanan. Selain itu, untuk memperlancar jalur transportasi, antar pintu benteng pun dibangun sebuah jalur perhubungan, dengan jalan utama yang bernama heeren straat.
Kunonya berbagai bangunan yang ada membuat 3 wanita berucap kagum dalam hati. Memandangi saksi sejarah ini, seolah meyaksikan kepingan sejarah yang terangkai kembali dihadapan. Subhanallah.
Ternyata, tak jauh dari kota Lama, terdapat sebuah masjid yang memiliki arsitektur yang cukup unik. Rumah Allah yang terletak di tepi jalan Layur Kampung Melayu ini, dikenal dengan sebutan Masjid Layur. Pendiriannya dimulai pada tahun 1802 oleh sejumlah saudagar dari Yaman yang bermukim diwilayah ini. Kompleks masjid ini dibatasi oleh tembok tinggi, sehingga yang terlhat dari luar hanya keberadaan menara yang menjulang. Selain sebagai penyeru adzan, ternyata pada masa perang kemerdekaan, menara pun sempat berfungsi sebagai menara pengawas pantai.
Cermin budaya Jawa terlihat pada atap masjid yang bertumpang tiga. Walaupun ukurannya tidak terlalu luas, keindahan masih terlihat disini, pondasi soko guru yang berwarna hijau, ornamen-ornamen dinding bergaya geometrik warna-warni, merupakan cerminan dari sebuah keberagaman. Dibalik jendela, terlihat sungai yang sudah mulai mongering. Konon, dulu merupakan tempat pendaratan perahu dagang bangsa Arab dan Melayu. Secara keseluruhan, semua bangunan disini masih asli, hanya dilakukan penggantian genteng dan penambahan ruang bagi pengelola masjid.
Setelah berkeliling di kota lama, perjalanan Dilla, Dina, dan Silvi berlanjut ke sebuah kawasan wisata bersejarah.
Memasuki kawasan wisata, ternyata tak hanya 3 wanita yang berkunjung. Disini terlihat rombongan pramuka yang sedang berdarmawisata. Setelah sejenak saling bertegur sapa, ketiga sahabat pun memulai petualangannya. Ditemani puluhan anak tangga, 3 wanita pun sampai di depan gapura goa.
Ditemani Pak Kasmani, tiga wanita mulai memasuki kompleks wisata goa Kreo. Mereka berbincang dengan akrab disepanjang perjalanan, ditemani pepohonan yang cukup rindang di sisi jalan. Perjalanan pun sempat terhenti disebuah jembatan. Dari atas, terlihat keindahan alam yang dibalut gemericik air sungai dikejauhan.
Tak lama berjalan, mulut gua mulai terlihat. Dengan bismillah, 3 wanita pun berjalan merunduk, memasuki lorong goa kreo yang sempit dan gelap.
Goa kreo menyimpan cerita mengenai Sunan Kaliaga. Alkisah, ketika hendak membawa kayu jati sebagai tiang untuk masjid Demak. Orang suci itu dan para pengikutnya sempat beristirahat di puncak bukit. Ketika Sang Sunan sedang bersemedi didalam gua, datanglah empat ekor kera yang ingin membantu membawa kayu jati yang terjepit diantara tebing. Setelah berbagai cara dilakukan, akhirnya kayu jati dapat dibawa. Empat ekor kera pun memohon untuk ikut ke Demak. Namun, Sunan Kalijaga melarangnya. Ia malah memerintahkan agar kera-kera tersebut ngreho atau merawat kawasan gua ini. Oleh sebab itulah goa ini kemudian dikenal dengan nama goa kreo dan kera-kera disini dianggap sebagai keturunan kera yang dulu diperintahkan Sang Sunan untuk merawat goa, wallahu ‘alam.
Setelah berpamitan dengan Pak Kasmani, 3 wanita masih melanjutkan petualangannya. Kali ini, ratusan anak tangga kembali mereka jelajahi. Namun, tak lama kemudian, rasa penat pun seolah terbayar seketika. Aliran air terjun Sungai Kreo yang bening terbentang dihadapan. Suasana yang ramai pun tak menghalangi niat ketiga sahabat untuk bermain dengan kesejukan alam. Memandangi aliran air yang jatuh, sanubari pun seolah terasa sejuk. Sejenak, segala kesibukan duniawi terhapus oleh rasa syukur yang besar kepadaNya.
Hari pun beranjak senja, 3 wanita kembali mengayun langkah untuk meneruskan penjelajahan. Namun kali ini, mereka singgah di Masjid Agung Jawa Tengah, untuk sejenak menghadapNya.
Sucining guna gapuraning gusti atau kemauan dan upaya yang tulus membawa ke arah ridho Allah. Itulah yang menjadi pedoman bagi pembangunan rumah suci ini. Memandanginya, kemegahan Allah sangat terasa. Dengan perpaduan arsitektur Jawa, Islam, dan Roma, makna filosofis pun tergambar disetiap detailnya. Di bagian atas, sebuah kubah dan empat menara menjadi perlambang Rasulullah SAW yang ditemani oleh keempat sahabatnya.
Sedangkan di sudut barat, berdiri kokoh menara asmaul husna yang memiliki tinggi 99 meter. Pada lantai dua dan tiga menara, terdapat museum perkembangan Islam. Disini tersimpan berbagai koleksi benda-benda kuno yang pernah menjadi sarana bagi penyebaran Islam oleh para wali. Berbagai alat musik, seperti gamelan, tebang jawa, dan kesenian wayang pun terdapat didalamnya. Selain melalui kesenian, Islam juga menyebar melalui perdagangan antar etnis. Disini terlihat rempah-rempah hasil bumi yang menjadi komoditas utama perdagangan kala itu. Selain itu, berbagai prasasti, foto dan benda kuno lain yang berada disini pun dirawat dengan baik.
Pada lantai 19 menara, tersedia sejumlah teropong bagi para pengunjung yang ingin menyaksikan kota Semarang dari ketinggian. Keramaian dan kesibukan kota pun tergambar jelas dari sini. Selain itu, oleh para ulama, menara tinggi ini juga digunakan untuk mengamati munculnya hilal.
Dari semua bangunan, yang paling menarik perhatian para jamaah adalah keberadaan payung pelindung yang meniru konsep Masjid Nabawi Madinah. Membuka enam buah payung besar yang tingginya mencapai 18 meter ini, digunakan sistem hidrolik dengan tenaga sebesar 60.000 watt. Pada waktu-waktu tertentu, jika jumlah jamaah membludak. Payung pelindung yang berdiameter 26 m2 ini dibuka. Subhanallah, keanggunannya membuat nafas pun seolah tertahan seketika.
Alhamdulillah, hari ini, Dila, Dina, dan Silvi telah mengakhiri perjalanannya yang pertama. Senja ini, mereka lalui dengan berserah diri di Kemegahan Masjid Agung Jawa Tengah. Insya Allah, perjalanan awal di Semarang adalah permulaan bagi petualangan ketiga sahabat untuk menguak lebih banyak lagi kisah mengenai kebesaranNya. KeagunganNya yang tak terhingga, Allah SWT.
Wassalammu’alaikum wr wb.
By arief & fista